Gelungan Rambut Wati
Gelungan Rambut Wati
Karya: Dyancuk
Karya: Dyancuk
Sedari
tadi perempuan itu selalu mondar-mandir di depan pohon Belimbing yang ada di
samping rumah Mbok Lasmi. Tampaknya perempuan itu pun masih sangat asing bagiku
karena baru pertama kali dia terlihat di kampungku. Hingga fajar mulai
mengasingkan diri dan langit yang ikut meremangkan jalan, wajah perempuan
tersebut semakin kelihatan pucat dan matanya semakin memuram. Sepertinya yang dia
tunggu tidak juga segera memenuhi keresahannya. Tidak lama kemudian, Mbok Lasmi
datang dari selesai berdagang di pasar Ikan seberang jalan.
“Loh,
kamu kok masih di luar dan belum mandi?” Tanya Mbok Lazmi.
“Eeeh…anu
mbok saya masih nunggu teman saya.”
“Ya tapi mandi dulu
sana wat, masak mau ketemu temanmu badanmu masih kayak kue apem gitu, pucet!”
“Iya mbok.” Jawab
perempuan itu dengan nada lesu.
Nampaknya,
mbok Lasmi bukanlah orang yang dia tunggu untuk bertemu dengannya. Raut wajahnya
tidak berubah ketika melihat Mbok Lasmi telah datang. Aku semakin penasaran
dengan perempuan itu karena jelas dia bukanlah anak Mbok Lasmi karena Mbok Lasmi
hanya memunyai 1 anak yang kini bersekolah di
SD tempat ibuku mengajar.
Keesokan
harinya, tiba-tiba aku melihat Mbok Lasmi sedang berbincang dengan Ibuku di
depan rumahku. Kebetulan karena saat itu ibuku ingin membeli ikan dagangan Mbok
Lasmi yang terlihat masih sangat segar. Aku beranikan diri untuk bertanya
kepada Mbok Lasmi perihal perempuan yang dari semalam mengganggu tidurku.
“Mbok,
perempuan yang tinggal di rumah Mbok itu siapa?”
“Oh, itu Wati keponakan
Simbok dari Magelang. Kebetulan dia katanya pingin liburan di sini.” Jawab Mbok
Lasmi.
“Tapi kok dia keliatan
lebih cantik daripada Mbok Lasmi?”
“Nguawuur aja kamu kalo
ngomong Wan, gini-gini aku ini pernah menang lomba nari se-kecamatan.” Cetus
Mbok Lasmi.
“Husss…Wawan jangan
godain Mbok Lasmi kayak gitu, dosa kamu!” Jawab Ibuku sambil menyentil
telingaku.
Tidak
lama diduga, perempuan yang sedang aku bicarakan dengan Mbok Lasmi itu pun
muncul dari dalam rumah Simbok. Wajahnya kembali seperti orang linglung sedang
menunggu sesuatu. Aku beranikan diri untuk mendekatinya demi membuang rasa
penasaranku kepadanya.
“Eh
kamu Wati bukan?”
“Darimana
kamu tahu namaku?” Jawabnya.
“Dari
Mbok Lasmi tadi yang memberitahuku.”
“Oh,
begitu.”
“Aku
perhatiin, kamu dari kemarin keliatan bingung, ada yang sedang kamu cari?”
“Bukan
urusanmu, ini masalahku!” bergegas perempuan itu pun pergi meninggalkanku dan
menaiki ojek yang sudah dia pesan.
Rasa
puas akan penasaran terhadap Wati pun masih menyelimuti diriku, karena
perempuan ini terlihat begitu tertutup tentang dirinya, bahkan juga terhadap
Mbok Lasmi. Aku pun bergegas pergi meninggalkan rumah Mbok Lasmi dan
melanjutkan pekerjaanku memberi makan sapi Pak Rudi supaya bisa segera di perah
susunya.
Menjelang
sore tiba, sudah waktunya diriku untuk pergi ke rumah Pak Rudi untuk
mengantarkan susu hasil perah hari ini agar segera bisa dijual. Namun, ditengah
perjalanan, aku melihat seorang perempuan yang terkapar di pinggir jembatan dan
sudah dikerubungi oleh beberapa warga. Bergegas aku pun ikut menengok sosok
perempuan tersebut ditengah kerumunan warga.
“Loh,
Wati!” teriakku.
“Kamu
mengenalnya?” tanya salah satu warga.
“Dia
keponakan tetanggaku.”
“Kalo begitu kita bawa
ke rumahnya, sepertinya dia hanya pingsan.” Pintaku sambil memeriksa hidung dan
nadi Wati.
Sesampainya
di rumah Mbok Lasmi, warga pun membubarkan diri dan menyerahkan Wati kepadaku. Tidak
berselang lama Mbok Lasmi lari dengan nafas ngos-ngosan karena khawatir dengan
keadaan Wati.
“Mbok
dia sudah sadar!”
Bergegas
Mbok Lasmi mengambil air hangat ke dapur dan aku berusaha membantu Wati untuk
duduk.
“Kamu
yang sudah menolongku?” tanya Wati.
“Bukan, aku cuman
mengantarmu ke rumah, warga kampung tadi yang menolongmu.” Jawabku.
Dirinya
pun kembali merenung dan melamun secara tiba-tiba bahkan tidak menghiraukan
Mbok Lasmi yang sudah membuatkannya air hangat. Segera aku meminta air hangat
yang telah dibuatkan oleh Mbok Lasmi, lalu aku minum satu tegukan dan
menyemburkan air tersebut ke wajah Wati. Dia pun marah dan mendadak pergi. Aku segera
menyusulnya agar tidak terjadi apa-apa kembali kepadanya.
“Wan,
apa kamu mau membantuku?” Tanya Wati
“Bantu
Apa Wat?” Jawabku.
“Tapi
kamu jangan bilang ke Mbok Lasmi!” Ketus Wati
“
Baiklah.”
Wati
pun bercerita bahwa dirinya telah kehilang sebuah gelung rambut untuk
pernikahannya dengan pemuda yang merupakan anak dari pengusaha batu bara di
Jakarta bernama Brama. Gelung tersebut dicuri oleh beberapa orang tadi pagi
saat hendak dirinya mengambil gelung tersebut dari seorang kurir pengiriman
barang. Namun, tiba-tiba dirinya dipukul oleh sekelompok orang hingga pingsan
diambil gelungnya. Diketahui gelung tersebut adalah gelung warisan dari nenek
moyang yang harus dihargai oleh keluarga
Brama tersebut untuk setiap calon pengantin dari keluarganya. Jika ada yang
merusak atau menghilangkan gelung tersebut, maka keluarga pemuda tersebut tidak
segan-segan menyiksa calon pengantinnya. Itu kenapa Wati sangat khawatir dari
kemarin karena takut kehilangan gelung tersebut dan dirinya akan disiksa.
Mendengar
cerita Wati pun aku segera membantunya untuk mencari gelung tersebut sebelum
hari pernikahan Wati agar dirinya tidak mendapat siksaan dari keluarga Brama.
“Apa
kamu punya musuh selama ini?” tanyaku.
“Aku
tidak pernah bermusuhan dengan siapapun Wan.” Jawab Wati lirih.
“Kalau begitu pasti
gelung itu sudah diincar seorang pencuri karena mengetahui asal muasal gelung
itu!”
Setelah
pencarian hingga satu hari penuh belum juga kami menemukan gelung tersebut.
Wati pun memilih untuk kembali ke rumah Mbok Lasmi dan pasrah dengan nasibnya.
“Pernikahanku tinggal 2
hari lagi, sudah tidak ada harapan lagi untukku demi menemukan gelung itu.” Ujarnya
dengan nada menderu.
“Haruskah gelung
tersebut lebih berharga daripada kisah cintamu kepada pemuda tersebut?” Tanyaku
dengan nada bingung.
“Harus, karena cinta
bukan jadi alasan utama aku bersedia menikahinya.” Jawab Wati.
Wati
bersedia menikahi Brama memang bukan karena cinta, dia terpaksa menikah dengan
Brama lantaran ayahnya pernah terlibat hutang terhadap ayah dari Brama hingga
ratusan juta. Merasa tidak mampu membayar Wati pun menawarkan dirinya untuk
dinikahi Brama yang sebelumnya sudah memunyai 2 istri. Hal tersebut disetujui
oleh Brama dan ayahnya sehingga Wati merasa tidak memunyai pilihan lain untuk
menikah dengan Brama. Jika dia tidak mampu menemukan gelung tersebut maka
dirinya harus menghadapi kenyataan pahit bahwa selain dirinya harus disiksa
karena telah menghilangkan gelung tersebut, dirinya juga harus kembali terlibat
dengan hutang dari almarhum ayahnya karena gagal menikah dengan Brama.
“Wat,
aku sudah menemukannya!” teriak Wawan.
“Menemukan
apa?” tanya Wati.
“Gelung
milikmu, masak kancutmu!” ketus Wawan.
“Kalau
begitu segera antarkan aku ke sana.”
Dengan
langkah tergesa-gesa, Wati segera menuju tempat gelung tersebut ditemukan. Wawan
pun tidak berbohong, gelung tersebut ditemukan di balik rumput tengah sawah. Namun,
sebelum mengambil gelung tersebut, Wati pun menemui kendala. Dia harus melewati
seorang perempuan yang tertidur di amben. Ternyata perempuan tersebut adalah
istri kedua dari Brama yaitu Shinta. Entah apa yang membuat istri kedua Brama
tersebut hingga rela mencuri gelung untuk pernikahan Wati dan Brama. Dengan langkah
perlahan Wati pun berusaha mengambil gelung tersebut agar tidak ketahuan Shinta.
Kreek…, tiba-tiba terdengar suara
ranting pohon terinjak oleh Wati. Shinta pun segera bangun dari tidurnya dan
berusaha merebut gelung rambut yang sudah dipegang Wati.
“Lepaskan
gelung itu, perempuan Jalang!” bentak Shinta.
“Aku
tidak mau melepaskannya, dasar maling!” Sahut Wati.
Melihat
pertikaian tersebut, Wawan pun berusaha menghentikan pertikaian tersebut agar
tidak terjadi keributan yang lebih parah lagi.
“Hentikaan!”
bentak Wawan.
“Untuk
apa kalian bertengkar seperti ini demi sebuah gelung rambut?”
Shinta,
istri kedua Brama tampaknya tidak suka dengan rencana Brama untuk menikah
ketiga kalinya dengan Wati karena dia tidak terima untuk berbagi harta warisan dengan istri ketiga
Brama nantinya. Untuk bisa menghentikan pernikahan tersebut, Shinta pun
berusaha mencuri gelung rambut milik Wati agar pernikahannya dengan Brama
batal.
Tanpa
pikir panjang, aku pun mengajak Shinta dan Wati menemui Brama dengan membawa
gelung rambut tersebut. Shinta pun tidak akan kehilangan jatah warisannya dan
Wati tidak akan menikah dengan Brama. Gelung rambut Wati pun telah diurai
menjadi sebuah masa depan yang lebih membahagiakan. Sebab, pernikahan tidak
elok jika didasari keterpaksaan.
Komentar
Posting Komentar