Kritik dan Esai Cerpen "Tikus Parlemen" Karya M. Shoim Anwar


M. Shoim Anwar adalah salah satu sastrawan yang dimiliki Indonesia yang karyanya layak untuk diperhitungkan. Lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur. Setamat dari SPG di kota kelahirannya, dia melanjutkan ke Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, IKIP Surabaya dan Universitas Negeri Surabaya, hingga memperoleh gelar master dan doktor dengan predikat cumlaude. Shoim banyak menulis diberbagai media massa berupa cerpen, novel, esai, dan puisi. Karya-karya cerpennya dimuat dalam antologi berbahasa Indonesia, Inggris, dan Prancis, seperti Cerita Pendek dari Surabaya (editor Suripan Sadi Hutomo), Negeri Bayang-bayang (editor D, Zawawi Imro, dkk.), Angkatan 2000 dalam Sasta Indonesia (editor Korrie Layun Rampan), Dari Fansuri ke Handayani (editor Taufiq Ismail, dkk.), Horison Sastra Indonesia (editor Taufiq Ismail dkk), Black Forest (Kurator Budi Darma), New York Aftter Midnight (editor Satyagraha Hoerip), Beyond the Horizon (editor David T. Hill), Le Vieux Ficus et Autres Nouvelles (editor Laura Lampach), dll.
Salah satu cerpen karya Shoim Anwar yang menarik untuk dibaca yaitu Cerpen yang berjudul “Tikus Parlemen”. Cerpen tersebut akan dianalisis dengan pendekatan mimetik. Pendekatan mimetik adalah pendekatan yang dalam metodenya membentuk suatu karya sastra dengan didasarkan pada kenyataan kehidupan sosial yang dialami kemudian dikembangkan menjadi suatu karya sastra dengan penambahan skenario yang timbul dari daya imajinasi dan kreativitas pengarang dalam kehidupan nyata. Kata mimetik berasal dari kata mimesis (bahasa Yunani) yang berarti tiruan. Dalam pendekatan ini karya sastra dianggap sebagai tiruan alam atau kehidupan (Abrams, 1981). Untuk dapat menerapkannya dalam kajian sastra, dibutuhkan data-data yang berhubungan dengan realitas yang ada di luar karya sastra.
Di dalam cerpen “Tikus Parlemen, terdapat pengungkapan di dalam cerita yang mengandung unsur-unsur mimesis. Seperti dalam kutipan berikut ini:
“Tampak sekelompok tikus dengan tubuh gendut-gendut dan gerakan lincah. Tikus-tikus itu hidup di selokan yang menghubungkan gedung parlemen dengan sungai. Ternyata para binatang berkumis itu mendapatkan makanan dan minuman dari aliran selokan parlemen. Pantas saja kehidupan mereka jauh lebih makmur.”
Dalam kutipan tersebut menggunakan imajinasi tikus untuk mengungkapkan para pelaku koruptor serta pejabat negara yang berkuasa. Tikus yang gendut merupakan gambaran dari makmurnya para penguasa negara yang berlindung di balik gedung parlemen.
“Belum selesai ceritanya, wakil komisi C tiba-tiba datang dan berkata bahwa kejadian yang sama juga melanda komisinya. Berkas program komisi C pun berantakan dihancurkan oleh tikus.”
Dalam kutipan tersebut menunjukkan  bahwa tikus yang menghancurkan berkas program komisi C. Sama halnya para koruptor yang suka menghancurkan barang bukti hasil program kerjanya yang dikorupsi untuk menghilangkan jejaknya di gedung parlemen.
“Kulit ketua parlemen perlahan-lahan berubah menjadi hitam. Kumisnya berdiri tegak. Lantas disusul munculnya bulu-bulu hitam di sekujur tubuhnya. Kini, telinga laki-laki itu jadi memanjang. Mulutnya seperti ditarik keluar hingga berubah jadi moncong. Pembicaraannya mulai tidak jelas. Lama-lama suaranya berubah jadi cericit. Dalam waktu yang bersamaan terlihat ekor tumbuh menjalar dari bawah, bergerak dan melingkar-lingkar di atas meja.
Dalam kutipan tersebut  menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi dari ketua parlemen menjadi seekor tikus merupakan metafora yang diungkapkan secara detail bahwa si koruptor itu sendiri adalah ketua parlemen yang suka mencuri uang negara.

Komentar

Postingan Populer